Nomor Panggil : 338.173.61 Sab m c.1
Kolasi : 478 P
MENURUT data BPS (Badan Pusat Statistik 2003), petani yang memiliki tanah di Indonesia jumlahnya sekitar 22 juta orang dari 40,6 juta orang total angkatan kerj a yang bekerj a di penanian. Kalau dalam setiap satu rumah tangga petani pemilik tanah ini terdiri atas lima orang, maka jumlah orang yang berada dalam kelompok rumah tangga petani ini adalah 110 juta orang. Jumlah ini hampir 52% dari seluruh penduduk Indonesia. Satu orang di antara petani tersebut adalah Arum Sabil. Arum Sabil adalah petani tebu. Ia merupakan bagian dari 22 juta orang petani pemilik Iahan dan bagian dari sekian juta orang yang menggantungkan kehidupannya dari tebu. Hasil tebu mereka masuk ke pabrik-pabrik gula, diolah dan menghasilkan gula, tetes, dan lain-Iain. Produk yang dapat dihasilkan dari tebu ini Iebih dari 64 jenis produk, mulai dari produk pangan, industri, hingga kesehatan. Namun demikian, di Indonesia tebu ini sebagian besar baru diolah untuk menjadi gula. Hasil lainnya belum berkembang, bahkan keadaan industri gula kita sekarang ini. Walaupun potensi yang kita miliki besar, tapi masih berada dalam situasi yang memprihatinkan. ' Rasa manis dan energi dari Secangkir teh atau kopi sena kue— kue yang kita nikmati setiap hari, pada awainya berasal dari tebu yang ditanam para petani. Sambil menikmati kopi manis, pemahkah kita membayangkan apa yang dikerjakan oleh para petani tebu di kebun-kebun mereka? Pemahkah kita merasakan sengatan matahari yang membakar tubuh mereka? Pemahkah kita merasakan gatalnya tubuh akibat gesekan daun-daun tebu dengan kulit kita? Sebelum gula sampai di pabrik, dan kernudian bereaksi dalam cangkir kopi yang siap kita nikmati, ia telah menempuh proses yang sangat panjang dan meielahkan. Saya pemah mengajak seorang kawan yang berasal dari Denmark ke kebun teh di Gunung Mas, Bogor. Ia saya ajak mengamati seluruh proses sehelum teh itu siap untuk dihirup. Ia melihat sendiri bagaimana buruh pemetik teh bekerja mulai pagi hari ketika baru saja mata hari terbit menyingsing. Ia perhatikan bagaimana buruh-buruh itu bekerja. Ia merasakan bagaimana pexjalanan teh itu mulai dari kebun hingga ke secangkir teh yang siap untuk ia nikmati, dalam udara sejuk yang menyenangkan. Akhirnya ia berkata: "Setelah saya melihat sendiri bagaimana mereka bekerja keras untuk kesenangan kita, mestinya kita membayar mereka lebih baik lagi”. Memang pada kenyataannya konsumen di negara-negara maju membayar produk pertanian hasil olahan seperti teh dan kopi dengan harga terus meningkat, tetapi kenaikan harga yang dibayar konsumcn tersebut tidak sampai ke petani di negara-negara berkembang. Inti dari cerita di atas adalah, saya ingin menyampaikan bahwa apa yang diketjakan oleh Arum Sabil dan para petani lainnya adalah bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi untuk kita semua. Persoalannya adalah kesejahteraan para petani terus menurun. Harga- harga dari produk yang mereka hasilkan terus menurun sehingga mereka tidak dapat lagi menjalankan usahanya dengan lebih baik. Persoalan ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Perbedaannya, kalau petani di negara-negara maju kehidupannya disubsidi pemerintahnya. Di negara-negara berkembang petani disuruh mempertahankan nasibnya sendiri-sendiri. Dalam batas-batas tertentu nasib kita memang tergantung dari usaha masing-masing pribadi. Bagi yang mau bekerja keras, ia akan menikmati hasil kerja kcrasnya itu. Bagi yang malas, ia akan menikmati hasil dari malasnya itu. Namun, persoalan akan menjadi lebih kompleks apabila di satu pihak petani yang jutaan jumlahnya bekerja sendiri-sendiri. Sedangkan di pihak lain berkolusi, berorgani sasi, atau bahkan selalu dimenangkan oleh kebijaksanaan suatu pemerintahan. Jadi, petani sebagai individu-individu berhadapan dengan suatu sistem yang menekannya. Sudah dapat dipastikan petani akan menderita selarnanya. Mudah-mudahan itu tidak terjadi di negeri kita pada waktu yang akan datang.